Selasa, 26 Mei 2009

Personal Pronoun (Kata Ganti Milik)

Personal Pronoun dalam Bahasa Inggris terbagi 4 , yaitu:
1.Nominative pronoun
2.Accusative pronoun
3.Possesive adjective
4.Possesive pronoun
Selanjutnya akan dibahas pada pelajaran di kelas.

Senin, 25 Mei 2009

Pers Bebas Pers Bablas

Tulisan ini merupakan tanggapan atas artikel berjudul Strategi Mengawal Kebijakan Publik yang ditulis oleh guru sekaligus dosen yang saya banggakan, Prof. Dr. Suherli Kusmana, M.Pd.
Dalam artikelnya, Prof. Suherli menyatakan terdapat Lima Strategi untuk mengawal layanan publik, yaitu (1) menciptakan sistem standar layanan; (2) menerapkan High-Technology; (3) memberdayakan potensi insan pers; (4) meningkatkan peran lembaga swadaya masayrakat; dan (5) mengembangkan sistem pendidikan kepedulian.(http://suherlicentre.blogspot.com)
Pada dasarnya, saya sangat sepakat dengan apa yang diutarakan beliau dan yang ingin saya tanggapi pada bagian artikel tersebut adalah poin strategi ke-3 yakni memberdayakan potensi insan pers.
Pemberdayaan potensi insan pers telah diterapkan secara “manusiawi” atas jasa presiden kita yang ke-3, BJ Habibi, yaitu dengan disahkannya UU Pokok Pers No. 40 tahun 1999 pada 23 September 1999. Dengan lahirnya UU tersebut, kran kebebasan pers dibuka sepenuhnya dan sejak itulah pers tumbuh di negeri ini bagaikan seekor kuda yang dilepas dari kandangnya.
BJ Habibi dengan pola pikir modernnya kala itu beranggapan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin.
UU Pokok Pers No. 40 yang merupakan lex specialis hadir sebagai dewa penyelamat bagi para kuli tinta yang memiliki idealisme tinggi dan peduli terhadap pencapaian kemajuan pembangunan bangsa ini. Dari yang tadinya dikebiri, pers sejak saat saat ini hidup bebas tanpa beban (malah terkadang kebablasan), walaupun sesungguhnya pers tetap harus berjalan sesuai dengan asas, fungsi, kaidah dan kode etik jurnalistik. Sejak saat itu, pembredelan dianggap sebagai tindakan melawan hukum.
Terdapat 4 fungsi pokok Pers dalam mengawal kebijakan publik, yakni:
1. Sebagai media pendidikan/ education
2. Sebagai media informasi/ information
3. Sebagai media hiburan/entertainment
4. Sebagai media kontrol sosial
Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah".
Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.
Sebagai pilar demokrasi ke-empat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif, pers mendapat perlakuan istimewa, yakni dengan adanya perlindungan hukum kepada wartawan saat mereka menjalankan tugas (pasal 8 UU Pers No. 40 tahun 1999).
Ada yang aneh dengan lahirnya UU ini. Setelah kran kebebasan pers dibuka, muncul konsekwensi negatifnya. Lahirlah wartawan-wartawan dadakan. Ada juga di antaranya wartawan yang tidak dibekali kode etik dan kaidah jurnalistik. Begitu banyak tukang ojeg, tukang parkir, penjahit bahkan penjahat, yang beralih profesi menjadi wartawan.
Banyak di antara mereka yang tidak memiliki kemampuan menulis dan tidak tahu apa arti sesungguhnya pers itu. Namun karena jumlah penerbitan semakin menjamur dan tidak ditopang oleh modal yang mapan, otomatis proses rekrutmen dan sistem penggajian wartawan pun tidak dilaksanakan secara profesional. Sampai ada sebuah penerbitan lokal yang mengadopsi koran Tempo (tempo terbit tempo henteu) berani-beraninya menjual kartu pers kepada siapa saja yang ingin menjadi wartawan.
Akibatnya, muncullah wartawan uka-uka, yang menggantungkan kartu persnya di leher mereka untuk menakut-nakuti siapa saja yang didatanginya (terutama aparatur pemerintahan). Dengan semboyan “silaturahmi” mereka memeras sekolah-sekolah yang sedang merehab bangunan, dinas-dinas yang sedang melangsungkan lelang, masuk ke desa-desa yang mendapatkan PPIP, dan lain sebagainya.
Lebih anehnya lagi, banyak di antara korban yang merasa takut dan “rela” menyerahkan sejumlah uang pada mereka. Saya terkadang bertanya dalam hati.”Koq bisa-bisanya seorang kepala sekolah yang notabene memiliki kualitas intelektual tinggi diperas oleh wartawan uka-uka yang sekolahnya saja tidak jelas lulusan apa? Ada apa dengan kepala sekolah itu?” Padahal jika dicermati, upaya pemerasan yang dilakukan oknum wartawan adalah sebuah tindakan kriminal yang bisa dilaporkan kepada pihak berwajib.
Oleh karena itu, pihak penyelenggara pembangunan di seluruh institusi sebaiknya mempelajari dan memahami UU Pokok Pers No. 40 tahun 1999, supaya tidak terjebak ke dalam arus kesesatan pers. Namun demikian, bertindak profesional dan amanah dalam menjalankan tugas adalah kunci keselamatan bagi siapa saja para pelayan publik. Pers hanyalah alat kontrol yang bisa disiasati dan berbagai cara untuk menghindari jeratan pers bisa dilakukan. Berikap jujur dan mengedepankan nurani adalah kontrol diri yang sesungguhnya.

Pers Bebas Pers Bablas

Tulisan ini merupakan tanggapan atas artikel berjudul Strategi Mengawal Kebijakan Publik yang ditulis oleh guru sekaligus dosen yang saya banggakan, Prof. Dr. Suherli Kusmana, M.Pd.
Dalam artikelnya, Prof. Suherli menyatakan terdapat Lima Strategi untuk mengawal layanan publik, yaitu (1) menciptakan sistem standar layanan; (2) menerapkan High-Technology; (3) memberdayakan potensi insan pers; (4) meningkatkan peran lembaga swadaya masayrakat; dan (5) mengembangkan sistem pendidikan kepedulian.(http://suherlicentre.blogspot.com)
Pada dasarnya, saya sangat sepakat dengan apa yang diutarakan beliau dan yang ingin saya tanggapi pada bagian artikel tersebut adalah poin strategi ke-3 yakni memberdayakan potensi insan pers.
Pemberdayaan potensi insan pers telah diterapkan secara “manusiawi” atas jasa presiden kita yang ke-3, BJ Habibi, yaitu dengan disahkannya UU Pokok Pers No. 40 tahun 1999 pada 23 September 1999. Dengan lahirnya UU tersebut, kran kebebasan pers dibuka sepenuhnya dan sejak itulah pers tumbuh di negeri ini bagaikan seekor kuda yang dilepas dari kandangnya.
BJ Habibi dengan pola pikir modernnya kala itu beranggapan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin.
UU Pokok Pers No. 40 yang merupakan lex specialis hadir sebagai dewa penyelamat bagi para kuli tinta yang memiliki idealisme tinggi dan peduli terhadap pencapaian kemajuan pembangunan bangsa ini. Dari yang tadinya dikebiri, pers sejak saat saat ini hidup bebas tanpa beban (malah terkadang kebablasan), walaupun sesungguhnya pers tetap harus berjalan sesuai dengan asas, fungsi, kaidah dan kode etik jurnalistik. Sejak saat itu, pembredelan dianggap sebagai tindakan melawan hukum.
Terdapat 4 fungsi pokok Pers dalam mengawal kebijakan publik, yakni:
1. Sebagai media pendidikan/ education
2. Sebagai media informasi/ information
3. Sebagai media hiburan/entertainment
4. Sebagai media kontrol sosial
Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah".
Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.
Sebagai pilar demokrasi ke-empat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif, pers mendapat perlakuan istimewa, yakni dengan adanya perlindungan hukum kepada wartawan saat mereka menjalankan tugas (pasal 8 UU Pers No. 40 tahun 1999).
Ada yang aneh dengan lahirnya UU ini. Setelah kran kebebasan pers dibuka, muncul konsekwensi negatifnya. Lahirlah wartawan-wartawan dadakan. Ada juga di antaranya wartawan yang tidak dibekali kode etik dan kaidah jurnalistik. Begitu banyak tukang ojeg, tukang parkir, penjahit bahkan penjahat, yang beralih profesi menjadi wartawan.
Banyak di antara mereka yang tidak memiliki kemampuan menulis dan tidak tahu apa arti sesungguhnya pers itu. Namun karena jumlah penerbitan semakin menjamur dan tidak ditopang oleh modal yang mapan, otomatis proses rekrutmen dan sistem penggajian wartawan pun tidak dilaksanakan secara profesional. Sampai ada sebuah penerbitan lokal yang mengadopsi koran Tempo (tempo terbit tempo henteu) berani-beraninya menjual kartu pers kepada siapa saja yang ingin menjadi wartawan.
Akibatnya, muncullah wartawan uka-uka, yang menggantungkan kartu persnya di leher mereka untuk menakut-nakuti siapa saja yang didatanginya (terutama aparatur pemerintahan). Dengan semboyan “silaturahmi” mereka memeras sekolah-sekolah yang sedang merehab bangunan, dinas-dinas yang sedang melangsungkan lelang, masuk ke desa-desa yang mendapatkan PPIP, dan lain sebagainya.
Lebih anehnya lagi, banyak di antara korban yang merasa takut dan “rela” menyerahkan sejumlah uang pada mereka. Saya terkadang bertanya dalam hati.”Koq bisa-bisanya seorang kepala sekolah yang notabene memiliki kualitas intelektual tinggi diperas oleh wartawan uka-uka yang sekolahnya saja tidak jelas lulusan apa? Ada apa dengan kepala sekolah itu?” Padahal jika dicermati, upaya pemerasan yang dilakukan oknum wartawan adalah sebuah tindakan kriminal yang bisa dilaporkan kepada pihak berwajib.
Oleh karena itu, pihak penyelenggara pembangunan di seluruh institusi sebaiknya mempelajari dan memahami UU Pokok Pers No. 40 tahun 1999, supaya tidak terjebak ke dalam arus kesesatan pers. Namun demikian, bertindak profesional dan amanah dalam menjalankan tugas adalah kunci keselamatan bagi siapa saja para pelayan publik. Pers hanyalah alat kontrol yang bisa disiasati dan berbagai cara untuk menghindari jeratan pers bisa dilakukan. Berikap jujur dan mengedepankan nurani adalah kontrol diri yang sesungguhnya.

Pers Bebas Pers Bablas

Tulisan ini merupakan tanggapan atas artikel berjudul Strategi Mengawal Kebijakan Publik yang ditulis oleh guru sekaligus dosen yang saya banggakan, Prof. Dr. Suherli Kusmana, M.Pd.
Pada tulisannya, Prof. Suherli menyatakan terdapat Lima Strategi untuk mengawal layanan publik, yaitu (1) menciptakan sistem standar layanan; (2) menerapkan High-Technology; (3) memberdayakan potensi insan pers; (4) meningkatkan peran lembaga swadaya masayrakat; dan (5) mengembangkan sistem pendidikan kepedulian.(http://suherlicentre.blogspot.com)
Pada dasarnya, saya sangat sepakat dengan apa yang diutarakan beliau dan yang ingin saya tanggapi pada bagian artikel tersebut adalah poin strategi ke-3 yakni memberdayakan potensi insan pers.
Pemberdayaan potensi insan pers telah diterapkan secara “manusiawi” atas jasa presiden kita yang ke-3, BJ Habibi, yaitu dengan disahkannya UU Pokok Pers No. 40 tahun 1999 pada 23 September 1999. Dengan lahirnya UU tersebut, kran kebebasan pers dibuka sepenuhnya dan sejak itulah pers tumbuh di negeri ini bagaikan seekor kuda yang dilepas dari kandangnya.
BJ Habibi dengan pola pikir modernnya kala itu beranggapan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 harus dijamin.
UU Pokok Pers No. 40 yang merupakan lex specialis hadir sebagai dewa penyelamat bagi para kuli tinta yang memiliki idealisme tinggi dan peduli terhadap pencapaian kemajuan pembangunan bangsa ini. Dari yang tadinya dikebiri, pers sejak saat saat ini hidup bebas tanpa beban (malah terkadang kebablasan), walaupun sesungguhnya pers tetap harus berjalan sesuai dengan asas, fungsi, kaidah dan kode etik jurnalistik. Sejak saat itu, pembredelan dianggap sebagai tindakan melawan hukum.
Terdapat 4 fungsi pokok Pers dalam mengawal kebijakan publik, yakni:
1.Sebagai media pendidikan/ education
2.Sebagai media informasi/ information
3.Sebagai media hiburan/entertainment
4.Sebagai media kontrol sosial
Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi : "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa
gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah".
Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.
Sebagai pilar demokrasi ke-empat setelah eksekutif, legislatif dan yudikatif, pers mendapat perlakuan istimewa, yakni dengan adanya perlindungan hukum kepada wartawan saat mereka menjalankan tugas (pasal 8 UU Pers No. 40 tahun 1999).
Ada yang aneh dengan lahirnya UU ini. Setelah kran kebebasan pers dibuka, muncul konsekwensi negatifnya. Lahirlah wartawan-wartawan dadakan. Ada juga di antaranya wartawan yang tidak dibekali kode etik dan kaidah jurnalistik. Begitu banyak tukang ojeg, tukang parkir, penjahit bahkan penjahat, yang beralih profesi menjadi wartawan.
Banyak di antara mereka yang tidak memiliki kemampuan menulis dan tidak tahu apa arti sesungguhnya pers itu. Namun karena jumlah penerbitan semakin menjamur dan tidak ditopang oleh modal yang mapan, otomatis proses rekrutmen dan sistem penggajian wartawan pun tidak dilaksanakan secara profesional. Sampai ada sebuah penerbitan lokal yang mengadopsi koran Tempo (tempo terbit tempo henteu) berani-beraninya menjual kartu pers kepada siapa saja yang ingin menjadi wartawan.
Akibatnya, muncullah wartawan uka-uka, yang menggantungkan kartu persnya di leher mereka untuk menakut-nakuti siapa saja yang didatanginya (terutama aparatur pemerintahan). Dengan semboyan “silaturahmi” mereka memeras sekolah-sekolah yang sedang merehab bangunan, dinas-dinas yang sedang melangsungkan lelang, masuk ke desa-desa yang mendapatkan PPIP, dan lain sebagainya.
Lebih anehnya lagi, banyak di antara korban yang merasa takut dan “rela” menyerahkan sejumlah uang pada mereka. Saya terkadang bertanya dalam hati.”Koq bisa-bisanya seorang kepala sekolah yang notabene memiliki kualitas intelektual tinggi diperas oleh wartawan uka-uka yang sekolahnya saja tidak jelas lulusan apa? Ada apa dengan kepala sekolah itu?” Padahal jika dicermati, upaya pemerasan yang dilakukan oknum wartawan adalah sebuah tindakan kriminal yang bisa dilaporkan kepada pihak berwajib.
Oleh karena itu, pihak penyelenggara pembangunan di seluruh institusi sebaiknya mempelajari dan memahami UU Pokok Pers No. 40 tahun 1999, supaya tidak terjebak ke dalam arus kesesatan pers. Namun demikian, bertindak profesional dan amanah dalam menjalankan tugas adalah kunci keselamatan bagi siapa saja para pelayan publik. Pers hanyalah alat kontrol yang bisa disiasati dan berbagai cara untuk menghindari jeratan pers bisa dilakukan. Berikap jujur dan mengedepankan nurani adalah kontrol diri yang sesungguhnya.

Rabu, 20 Mei 2009

Ruh Pendidikan, Kemanakah Kini?

Jika sejenak kita renungkan apa yang kini dikejar para guru dan kepala sekolah di negeri ini. Mereka berlomba mendapatkan sertifikasi dengan semangat juang 45. Walaupun tanpa mereka sadari, apa yang mereka lakukan adalah sebuah kebohongan, misalnya dengan membeli sertifikat seminar, membeli piagam penghargaan, dan kebohongan lainnya yang tidak pantas dilakukan seorang pendidik.
Bahkan, sebagaian kepala sekolah serta pengawas ada juga yang melanjutkan kuliah ke S2 guna mempertahankan jabatan mereka. Mereka tidak ingin suatu saat "jatuh" gara-gara kalah ijazah. Mau di kemanakan muka mereka jika suatu saat dilibas oleh junior sendiri karena tidak melanjutkan kuliah?
Akibatnya, manakala mereka melanjutkan kuliah ke Pasca sarjana, mereka hanya duduk ongkang-ongkang kaki di bangku kuliah. Soak tugas diserahkan pada teman yang sekiranya membutuhkan penghasilan tambahan. Yang penting bagi mereka: kuliah selesai. Uang tidak jadi soal. Lantas, saya mau bertanya, apakah ini potret pendidikan masa kini? Di tengah realitas pemerintah sedang menggembor-gemborkan sertifikasi, namun pada akhirnya diiringi oleh siasat licik para pendidik?
Mau jadi apa negeri ini jika para pendidiknya saja bersikap seperti demikian?