Jumat, 09 Desember 2011

Euforia Sertifikasi Profesi Guru

Jika kita tanya sejumlah mahasiswa yang sedang menempuh kuliah di perguruan tinggi fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, apa yang menjadi motivasi mereka ingin menjadi guru, jawaban mereka hampir bisa dipastikan sama ; karena profesi guru dalam konteks kekinian dianggap menjanjikan dalam hal kesejahteraan, hingga berimbas pada meningkatnya prestise profesi guru di mata masyarakat.
Selain gaji yang jumlah nominalnya dianggap lumayan, ditambah lagi dengan tunjangan profesi bagi guru yang sudah bersertifikat sebesar satu kali gaji pokok, semakin mendongkrak image guru yang dulunya disebut-sebut sebagai “Umar Bakri” kini mendapat panggilan baru, guru “Aburizal Bakri”, sebagai bentuk analogi bahwa dengan menjadi guru, seseorang dapat hidup layak walaupun tidak sekaya orang nomor wahid salah satu partai besar di negeri ini.
Berbicara sertifikasi guru, tidak terlepas dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pada pasal 8 disebutkan: guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pada Pasal 11 ayat (1), disebutkan bahwa sertifikat pendidik sebagaimana dalam pasal 8 diberikan kepada guru yang telah memenuhi persyaratan.
Landasan hukum lainnya adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan.
Dengan kebijakan sertifikasi guru ini, bukan berarti selesai sudah segala permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan, karena sertifikasi bukanlah tujuan, namun hanyalah salah satu sarana dalam pencapaian tujuan. Sertifikat pendidik bukan jaminan bahwa pemegang sertifikat tersebut adalah guru yang mumpuni dalam mencetak peserta didik yang beriman dan bertaqwa, cerdas, bermartabat, berahlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara sejalan dengan amanat UU No. 20 tentang Sisdiknas.
Dalam benak penulis, terdapat sekelumit pertanyaan yang muncul di tengah-tengah kesibukan para guru/pendidik dalam “mengejar” sertifikat profesinya. Pertama. Kredibilitas perguruan tinggi tempat para calon guru menimba ilmu seolah-olah masih diragukan kualitasnya oleh pemerintah. Jika kita runut secara etimologis, profesi berasal dari Bahasa Inggris, profession yang artinya pekerjaan. (John M. Echol dan Hassan Shadily). Sementara itu, (Kusnandar : 2007) menyatakan bahwa profesi adalah suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif.
Artinya (menurut pandangan penulis yang masih awam), jika seseorang telah menempuh jenjang S1 fakultas keguruan dan ilmu pendidikan, kemudian berhasil memperoleh ijazah serta akta mengajar (Akta IV) yang membuat dirinya berhak menyandang gelar sarjana pendidikan, secara otomatis orang tersebut berhak untuk berprofesi sebagai guru, karena pendidikan keguruan yang dia tempuh di bangku kuliah telah dijalani secara intensif, memenuhi unsur akademis, dan telah melalui serangkaian ujian pengetahuan dan keterampilan khusus yang notabene para penguji di kampusnya merupakan orang-orang yang sudah tidak diragukan lagi kredibilitasnya.
Dengan begitu, ijazah dan akta mengajar yang dia terima sejatinya merupakan “sertifikat profesi” bagi dirinya karena selama di bangku perkuliahan pun dia telah dibekali dengan bebagai kompetensi guru, baik akademik, kepribadian, pedagogik dan kompetensi profesional. Jujur saja, secara pribadi saya belum memahami perbedaan esensial dari eksistensi FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) yang dilaksanakan sekurang-kurangnya empat tahun dengan PLPG (Pendidikan Latihan Profesi Guru) selama kurang lebih dua minggu.
Kedua, munculnya euforia yang berlebihan dari para guru yang telah, sedang dan akan segera memperoleh sertifikat pendidik. Euforia ini muncul karena kata pertama yang berkaitan dengan sertifikasi adalah finansial. Kita pasti mafhum, jika sudah diiming-imingi dengan uang, semua orang pasti senang, termasuk guru sekalipun. Manakala kegembiraan yang terlalu meluap terjadi pada seorang pendidik, dikhawatirkan akan terjadi disorientasi dalam melaksanakan tupoksi, hingga guru menganggap bahwa tujuannya mengajar dan mendidik adalah untuk mendapatkan selembar sertifikat, yang ujung-ujungnya untuk mendapatkan uang. Apakah yang akan terjadi pada dunia pendidikan kita di kemudian hari jika segala sesuatu diukur dengan uang?
Ketiga, sertifikasi ditengarai menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan internal guru khususnya dan di kalangan PNS pada umumnya. Tidak hanya dari sudut finansial, sertifikasi pun semakin mengukuhkan jiwa senioritas di kalangan guru bersertifikat dan menumbuhkan sikap minder bagi yang belum bersertifikat. Lebih parah lagi, terjadinya “pembagian jatah” antrian sertifikasi yang salah karena human error dalam manajemen sekolah bisa memicu konflik internal di kalangan pendidik yang berimbas pada menurunnya kualitas budaya kerja di sekolah.
Sah-sah saja jika pemerintah bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan dengan kebijakan sertifikasi, namun alangkah baiknya jika prosesnya terpisah dengan aspek kesejahteraan. Penambahan tunjangan sebesar satu kali gaji pokok di zaman yang serba mahal ini adalah sesuatu yang wajar dan manusiawi diberikan sesegera mungkin pada semua guru yang telah berijazah S1 dan memiliki akta mengajar tanpa perlu mengikuti sebuah proses bernama sertifikasi.
Persoalan lain mengenai aspek peningkatan profesionalitas bisa dilakukan sembari jalan secara merata dan pasti akan diikuti para guru dengan ikhlas. Apalagi jika pelaksanaannya tidak sebatas formalitas namun benar-benar murni demi kualitas, karena pada hakikatnya, tolok ukur penilaian profesionalisme guru bukan hanya dilihat dari kemampuannya mengelola administrasi pengajaran, namun sejauh mana dampak dari pengajaran, pendidikan dan latihan yang diberikan oleh guru mampu mengubah perilaku peserta didik menjadi lebih berkualitas. Dengan demikian, tidak akan ada lagi euforia di kalangan guru yang telah, sedang dan akan segera memperoleh sertifikat pendidik, dan tentunya kecemburuan sosial di kalangan guru pun akan tereliminir.

Paradigma Sistem Pendidikan

Di tengah maraknya pendirian yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, diiringi dengan bertebarannya sekolah-sekolah baru baik negeri maupun swasta, marilah sejenak merenungi makna hakiki dari sebuah kata benda abstrak yang bernama pendidikan. Kata benda ini sangat sederhana dan mudah diucapkan, namun sulit untuk dilaksanakan.
Jika kita cermati definisinya menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Artinya, keberhasilan sebuah proses pendidikan ditandai dengan adanya perubahan perilaku peserta didik ke arah yang lebih baik. Selain memiliki kekuatan berpikir, mereka pun diharapkan memliki tangan yang terampil dan hati yang selalu berdzikir. Cerdas intelektual, emosional dan spiritual. Jika tidak ada perubahan perilaku peserta didik ke arah yang lebih baik, bahkan sebaliknya perilakunya malah bertambah buruk, maka sebuah proses pendidikan bisa kita sebut gagal.
Lantas siapa yang mesti disalahkan ketika sebuah proses pendidikan mengalami kegagalan? Apakah guru, kepala sekolah, orang tua, pemerintah, atau peserta didik itu sendiri? Jawabannya bisa kita temukan jika kita mampu menemukan pemicu timbulnya masalah yang dialami peserta didik. Misalnya, manakala intensitas komunikasi antara pihak penyelenggara pendidikan dengan orang tua berjalan kurang efektif, maka peserta didik akan mendapatkan “celah” untuk melakukan penyelewengan peran. Jika hal ini terjadi, maka yang patut disalahkan adalah pihak pendidik yang kurang aktif menjalin komunikasi.
Contoh kasus lain, jika orangtua terlalu memberikan kepercayaan penuh pada pihak sekolah untuk mendidik putra putrinya, hingga mereka lupa untuk membimbing anak-anaknya di luar jam sekolah, dan menyebabkan peserta didik kehilangan jati diri karena terjerumus pergaulan bebas, ugal-ugalan, tawuran dan hal negatif lainnya, maka tentu saja dalam konteks masalah ini pihak orangtualah yang mestinya berintrospeksi diri.
Masalah lainnya, ketika orangtua dan pihak penyelenggara pendidikan telah bekerjasama secara aktif untuk mengantarkan peserta didik untuk menempuh proses pendidikan secara optimal, begitu pun peserta didiknya memahami peranan dan kewajibannya dengan baik, namun di sisi lain, peningkatan mutu pendidikan baru bisa dicapai pada tahap kuantitas, bukan kualitas. Dalam masalah ini, hasil akhir sebuah proses pendidikan hanya sebatas deretan angka-angka di atas kertas. Tidak ada hasil signifikan yang kentara pada peningkatan pengetahuan, skill atau keterampilan, atau pada tataran ahlak peserta didik.
Tentunya hal ini berimbas pada munculnya masalah baru yakni degradasi kualitas generasi, baik dalam segi moral maupun non moral. Masalah ini, dalam pandangan penulis, merupakan masalah yang paling kompleks dibanding masalah-masalah yang disebutkan sebelumnya. Begitu banyak pihak yang mesti bertanggungjawab dalam hal ini. Masalah inilah yang sehari-hari kita sebut sebagai “masalah sistem” dan seringkali kita pun berucap bahwa yang namanya sistem sulit diubah bahkan seringkali kita katakan system can not be changed (sistem tidak bisa diubah). Mengubah sistem sama saja bunuh diri. Gunung bisa saja bergeser dari tempat semula, tapi sistem tetap tidak bisa diubah. Presiden boleh ganti, tapi sistem tetap saja tak akan berubah. Dan kalimat-kalimat lainnya yang sebenarnya tidak pantas kita ucapkan, karena selama bumi ini berputar dan langit belum runtuh, tidak ada hal yang mustahil di dunia ini. (Encang ZM/HR)