Jumat, 09 Desember 2011

Paradigma Sistem Pendidikan

Di tengah maraknya pendirian yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, diiringi dengan bertebarannya sekolah-sekolah baru baik negeri maupun swasta, marilah sejenak merenungi makna hakiki dari sebuah kata benda abstrak yang bernama pendidikan. Kata benda ini sangat sederhana dan mudah diucapkan, namun sulit untuk dilaksanakan.
Jika kita cermati definisinya menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Artinya, keberhasilan sebuah proses pendidikan ditandai dengan adanya perubahan perilaku peserta didik ke arah yang lebih baik. Selain memiliki kekuatan berpikir, mereka pun diharapkan memliki tangan yang terampil dan hati yang selalu berdzikir. Cerdas intelektual, emosional dan spiritual. Jika tidak ada perubahan perilaku peserta didik ke arah yang lebih baik, bahkan sebaliknya perilakunya malah bertambah buruk, maka sebuah proses pendidikan bisa kita sebut gagal.
Lantas siapa yang mesti disalahkan ketika sebuah proses pendidikan mengalami kegagalan? Apakah guru, kepala sekolah, orang tua, pemerintah, atau peserta didik itu sendiri? Jawabannya bisa kita temukan jika kita mampu menemukan pemicu timbulnya masalah yang dialami peserta didik. Misalnya, manakala intensitas komunikasi antara pihak penyelenggara pendidikan dengan orang tua berjalan kurang efektif, maka peserta didik akan mendapatkan “celah” untuk melakukan penyelewengan peran. Jika hal ini terjadi, maka yang patut disalahkan adalah pihak pendidik yang kurang aktif menjalin komunikasi.
Contoh kasus lain, jika orangtua terlalu memberikan kepercayaan penuh pada pihak sekolah untuk mendidik putra putrinya, hingga mereka lupa untuk membimbing anak-anaknya di luar jam sekolah, dan menyebabkan peserta didik kehilangan jati diri karena terjerumus pergaulan bebas, ugal-ugalan, tawuran dan hal negatif lainnya, maka tentu saja dalam konteks masalah ini pihak orangtualah yang mestinya berintrospeksi diri.
Masalah lainnya, ketika orangtua dan pihak penyelenggara pendidikan telah bekerjasama secara aktif untuk mengantarkan peserta didik untuk menempuh proses pendidikan secara optimal, begitu pun peserta didiknya memahami peranan dan kewajibannya dengan baik, namun di sisi lain, peningkatan mutu pendidikan baru bisa dicapai pada tahap kuantitas, bukan kualitas. Dalam masalah ini, hasil akhir sebuah proses pendidikan hanya sebatas deretan angka-angka di atas kertas. Tidak ada hasil signifikan yang kentara pada peningkatan pengetahuan, skill atau keterampilan, atau pada tataran ahlak peserta didik.
Tentunya hal ini berimbas pada munculnya masalah baru yakni degradasi kualitas generasi, baik dalam segi moral maupun non moral. Masalah ini, dalam pandangan penulis, merupakan masalah yang paling kompleks dibanding masalah-masalah yang disebutkan sebelumnya. Begitu banyak pihak yang mesti bertanggungjawab dalam hal ini. Masalah inilah yang sehari-hari kita sebut sebagai “masalah sistem” dan seringkali kita pun berucap bahwa yang namanya sistem sulit diubah bahkan seringkali kita katakan system can not be changed (sistem tidak bisa diubah). Mengubah sistem sama saja bunuh diri. Gunung bisa saja bergeser dari tempat semula, tapi sistem tetap tidak bisa diubah. Presiden boleh ganti, tapi sistem tetap saja tak akan berubah. Dan kalimat-kalimat lainnya yang sebenarnya tidak pantas kita ucapkan, karena selama bumi ini berputar dan langit belum runtuh, tidak ada hal yang mustahil di dunia ini. (Encang ZM/HR)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar